Kesultanan Aceh adalah salah satu kerajaan Islam terakhir di Asia Tenggara yang berjuang melawan kolonialisme Belanda. Kekalahannya tidak hanya disebabkan kekuatan militer lawan, tetapi juga akibat pengkhianatan internal, kesalahan diplomasi, dan jebakan politik global. Sejarah kelam ini kini kembali relevan ketika melihat situasi Iran, Irak, Libya, dan Suriah yang mengalami invasi atau intervensi asing dengan skema yang nyaris serupa. Apa yang terjadi di masa lalu, rupanya belum selesai. Ia hanya berganti kostum.
Dalam kasus Aceh, pertemuan diplomatik antara Panglima Tibang dan Konsul Amerika Studer di Singapura dijadikan dalih oleh Belanda untuk menggempur Aceh. Padahal, upaya diplomasi tersebut dimaksudkan sebagai jalan damai. Namun informasi tersebut dibelokkan oleh mata-mata Belanda, Tengku Muhammad Arifin, yang menyusup ke dalam pertemuan. Dengan membesar-besarkan isi pertemuan, ia melaporkannya sebagai bentuk konspirasi Aceh-Amerika. Ini menciptakan justifikasi internasional bagi Belanda untuk menyerang.
Belanda tidak menunggu konfirmasi atau klarifikasi. Laporan mata-mata dijadikan fakta, dan ultimatum dilayangkan kepada Sultan Aceh. Ketika ultimatum tak dipenuhi, perang pun meletus. Serangan militer besar-besaran diluncurkan dengan dukungan kekuatan laut dan darat. Loudon, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, menganggap Aceh sebagai ancaman permanen bagi kolonialisme dan perlu dilenyapkan. Ini cerminan klasik dari logika “preemptive strike” yang juga digunakan dalam konflik modern.
Paralel dengan situasi Iran, skema serupa tampak digunakan oleh negara-negara Barat dan Israel. Iran yang mencoba memperkuat posisinya di dunia Islam dianggap sebagai ancaman. Ketegangan diplomatik dikonstruksi sedemikian rupa menjadi ancaman keamanan regional, lalu dijadikan alasan untuk mendukung atau membiarkan operasi militer terhadapnya. Sebagaimana Aceh dulu, Iran juga terjebak dalam narasi musuh bersama dunia Barat.
Irak di bawah Saddam Hussein pernah mengalami jebakan serupa. Tuduhan memiliki senjata pemusnah massal menjadi dalih invasi. Libya pun demikian, ketika Khadafi ingin kembali memperkuat kedaulatan ekonominya dan mendekati Afrika, ia diintervensi atas nama demokrasi. Suriah, yang sejak lama menolak dikendalikan kekuatan asing, juga dijadikan sasaran hancur-lebur oleh kombinasi militer dan pemberontakan.
Iran menjadi target terakhir dari rangkaian ini. Negara ini berusaha bertahan di tengah tekanan sanksi ekonomi, isolasi politik, dan ancaman militer terbuka. Ketika Iran mencoba menjalin aliansi strategis dengan negara lain, ia pun dicurigai dan dibingkai sebagai ancaman global. Persis seperti Aceh ketika mencoba menggandeng Amerika di abad ke-19, upaya diplomasi justru dimaknai sebagai makar.
Pengkhianatan internal, seperti yang terjadi pada Kesultanan Aceh lewat Tengku Muhammad Arifin, juga menjadi faktor yang tak bisa diabaikan dalam dunia modern. Iran, Irak, dan Suriah pun menghadapi fenomena serupa: munculnya aktor lokal yang berpihak pada kekuatan asing demi kepentingan pribadi atau kelompok. Mereka menjadi pintu masuk, pemicu krisis, dan alat justifikasi agresi.
Meski zaman sudah berubah, logika kolonialisme tetap bertahan. Dulu, penjajah datang mengatasnamakan peradaban dan stabilitas. Kini, mereka datang atas nama demokrasi, hak asasi, atau ancaman nuklir. Aceh dituduh melanggar perjanjian dan menjadi ancaman bagi pelayaran internasional. Iran pun dituduh menjadi ancaman bagi keamanan regional. Semua narasi ini ujungnya sama: dominasi dan pengendalian.
Kesultanan Aceh akhirnya tumbang setelah perang panjang yang menguras darah dan harta. Tapi yang lebih menyakitkan adalah bahwa kekalahan itu bukan semata karena kekuatan musuh, melainkan karena tidak adanya kesatuan strategi, serta keberhasilan lawan menyusupkan pengkhianatan. Ini menjadi pelajaran berharga bagi negara-negara modern yang kini berhadapan dengan kekuatan global.
Iran, jika tidak berhati-hati, bisa mengalami nasib serupa. Kekuatannya yang tampak kokoh bisa runtuh jika tidak mampu mengatasi infiltrasi, propaganda, dan jebakan diplomatik. Kesalahan kecil dalam membaca situasi internasional bisa menjadi awal kehancuran besar. Terlebih jika dunia membiarkan skema kolonialisme modern ini terus berlangsung.
Aceh pernah membantu Belanda merdeka dari Spanyol secara diplomatik di abad ke-16, namun di akhir abad ke-19, Belanda-lah yang menghancurkan Aceh. Begitu pula Iran yang pernah membantu stabilitas kawasan, kini diincar oleh negara-negara yang pernah didukungnya secara tidak langsung. Sejarah kerap berbalik arah dengan cara yang tragis.
Dalam dunia yang dikendalikan oleh kekuatan hegemonik, kedaulatan kecil sering tak dihargai. Negara yang berusaha mandiri justru dianggap pemberontak. Mereka yang menolak tunduk, dijadikan musuh. Inilah wajah kolonialisme baru yang sesungguhnya bukan lagi “neo”, tetapi kolonialisme yang sama dengan wajah berbeda.
Kesultanan Aceh tidak kalah karena tak berjuang. Ia kalah karena dunia saat itu tak mendengar suaranya, dan karena ia dikelilingi oleh musuh yang menyamar menjadi teman. Iran kini menghadapi dunia yang sama sunyinya, di mana suara keadilan tenggelam oleh propaganda global dan permainan geopolitik.
Aceh telah menjadi pelajaran sejarah, bahwa perlawanan tak cukup hanya dengan senjata. Diplomasi yang cerdas, persatuan internal, dan waspada terhadap infiltrasi adalah kunci. Iran dan negara-negara lain yang saat ini menjadi target harus memahami bahwa dunia ini belum sepenuhnya berubah. Kolonialisme belum mati, ia hanya mengenakan jas yang lebih modern.
0 comments:
Post a Comment