Kejatuhan Kekaisaran Mughal pada pertengahan abad ke-19 menggema sebagai peringatan bagi Iran saat ini. Seperti Mughal yang runtuh secara perlahan akibat berbagai faktor—politik, ekonomi, militer, hingga pemberontakan—negara-negara modern termasuk Iran dapat menghadapi nasib serupa jika tidak tanggap dan proaktif. Pelajaran dari Mughal bisa jadi cermin bagi Teheran dalam menghadapi tekanan global.
Awal kejatuhan Mughal tidak dimulai dengan invasi besar dari luar, melainkan dari dalam raja sendiri yang melemah karena konflik internal dan pengelolaan ekonomi yang buruk. Dalam konteks Iran, tekanan dari sanksi ekonomi, korupsi dalam negeri, serta ketegangan politik dapat mendelegitimasi rezim dan mempercepat runtuhnya struktur pemerintahan.
Kemudian muncul kekuatan regional akibat devide et impera Inggris seperti Maratha dan Sikh yang memanfaatkan kelemahan pusat untuk memperluas pengaruh. Iran memiliki tantangan serupa dari faksi-faksi domestik serta kelompok yang menuntut reformasi dan lebih independen. Jika dibiarkan, fragmentasi ini bisa menjadi celah bagi intervensi negara asing.
Kekaisaran Mughal akhirnya lengser setelah kegagalan Kebangkitan India 1857, yang dipimpin oleh para tentaranya sendiri—sepoy melawan hegemoni Inggris. Dalam skenario Iran, protes militer atau kelompok bersenjata dalam negeri bisa beralih menjadi gerakan yang menantang otoritas kubu penguasa, membuka jalan bagi intervensi eksternal.
Tidak kalah penting, Mughal kehilangan dukungan pedagang dan kelas menengah karena kebijakan ekonomi yang menindas petani dan pengrajin dan ketidakmampuan elite Mughal melindungi warganya yang lemah dari penindasan perusahaan Inggris. Iran pun menghadapi risiko serupa, mengingat tekanan sanksi telah melemahkan daya beli, mengganggu sektor industri, dan memicu ketimpangan sosial.
Kebijakan Mughal dimanfaatkan oleh Inggris untuk ekspansi. Iran pun memiliki potensi sabotase Mossad untuk memicu krisis sektarian, terutama jika kalangan minoritas mudah diinfiltrasi.
Struktur pemerintahan Mughal yang mula-mula stabil pun runtuh ketika kaum bangsawan mulai mempertaruhkan loyalitas kepada penguasa lokal dan asing. Dalam Iran saat ini, elite politik atau militer yang kehilangan kepercayaan terhadap pusat bisa menjadi ancaman besar bagi persatuan nasional.
Ekonomi India mengalami deindustrialisasi yang parah karena kebijakan kolonial Inggris yang mengeksploitasi. Iran menghadapi tantangan serupa dalam bentuk embargo dan sanksi yang menargetkan sektor industri strategis. Kehancuran ekonomi bisa melemahkan daya tahan negara.
Ketika pemberontakan 1857 meletus, Inggris memberlakukan kontrol langsung setelah membubarkan East India Company dan mengasingkan Kaisar Mughal. Jika Iran gagal menahan tekanan saat ini, bukan tidak mungkin negara luar memperkuat pengaruhnya melalui kerja sama atau kedok “diplomasi kemanusiaan,” lalu mengambil langkah lebih jauh.
Bahadur Shah Zafar, kaisar Mughal terakhir, hanya dijadikan simbol pemberontakan dan kemudian dibuang. Hal ini bisa jadi skenario bagi pemimpin Iran di akhir apabila gerakan melawan mereka diberi figur simbolis lalu digantikan oleh pemimpin boneka.
Studi Irfan Habib menunjukkan bahwa eksploitasi petani oleh Inggris melemahkan dukungan masyarakat. Kebijakan ekonomi Iran yang tak bisa mengobati penderitaan rakyat akibat embargo AS dkk dapat menumbuhkan perlawanan, baik dalam bentuk unjuk rasa, pemogokan, hingga kerusuhan massal.
Menurut Jeffrey G. Williamson, deindustrialisasi meningkatkan ketergantungan ekonomi pada asing. Jika Teheran terus digiring masuk ke dalam mekanisme sanksi global, maka ketergantungan tersebut kian nyata, memperlemah kedaulatan nasional.
Pada masanya, Mughal gagal menghadapi sabotase ekonomi dari pihak luar. Iran pun seharusnya bisa memastikan ekonominya bisa sehat berkembang dan ekspansi ke luar negeri sebagaimana Tiongkok, Korsel, Vietnam dan kekuatan baru ekonomi saat ini.
Konflik sektarian di era Mughal menghambat kohesi nasional. Iran perlu menghindari polarisasi Sunni-Syiah atau perpecahan etnis, agar tidak mudah dieksploitasi oleh aktor luar seperti yang dialami Mughal.
Ketika provinsi mulai merasa punya kekuasaan sendiri, pusat kehilangan pengaruh. Iran dalam kondisi saat ini harus menjaga integrasi nasional antara pusat dan daerah agar tidak terancam sinkop politik.
Pada puncak kekuatannya, Mughal adalah kekuatan maritim dan darat besar. Namun lekas terurai saat aspek militer semakin lemah. Iran harus mencegah “lapisan kosong” dalam angkatan bersenjata, agar tidak mudah direbut pihak luar.
Pemberontakan 1857 membuat Inggris mengambil alih pemerintahan secara langsung melalui Mahkota Inggris. Jika Iran terguncang parah, kemungkinan negara-barat atau internasional menggantikan Iran dengan rezim yang lebih bersahabat semakin besar.
Bahasa kolonialisme tidak lagi tentang mengibarkan bendera, melainkan menggantikan struktur pemerintahan melalui tekanan ekonomi, politik, dan budaya. Iran menuju lintasan yang mirip jika tidak cepat melakukan reformasi total dan inovasi geopolitik.
Akhir Mughal juga menjadi tanda akhir dominasi Islam di subkontinen India dan awal era kontrol kolonial penuh Inggris. Iran hari ini berada di persimpangan yang sama: mempertahankan otonomi atau menyerah terhadap arus externalisasi kekuasaan.
Sejarah Mughal paruh akhir abad ke-19 menjadi cermin yang mengerikan bagi Iran. Kekalahan bukan terjadi dalam satu pertempuran, tetapi terjadi secara fraksional, bertahap, dan sangat sistematis. Iran perlu membaca naskah lama ini agar tidak menulis sejarah sendiri secara tragis.
0 comments:
Post a Comment