Negara Berlapis dan Multilateralisme




Timur Tengah dalam satu abad terakhir mengalami transformasi politik yang radikal, dari wilayah imperium menjadi kumpulan negara berdaulat, dan kini menuju bentuk yang semakin kompleks menyerupai “multi negara” dalam satu teritori. Proses ini tidak hanya melahirkan negara-bangsa, tetapi juga entitas de facto, wilayah otonom bersenjata, serta kekuasaan lokal yang hidup berdampingan atau berkonflik dengan negara pusat.

Akar perubahan tersebut bermula dari runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah setelah Perang Dunia I. Kekalahan Ottoman membuka jalan bagi fragmentasi wilayah Arab melalui berbagai perjanjian rahasia dan deklarasi sepihak yang disusun kekuatan kolonial Eropa, tanpa mempertimbangkan realitas sosial, etnis, dan sektarian di lapangan.

Deklarasi Balfour dan perjanjian Sykes–Picot menjadi simbol utama era tersebut. Garis-garis batas negara digambar di meja perundingan, bukan melalui konsensus masyarakat lokal. Dari sinilah lahir negara-negara baru yang secara formal berdaulat, namun secara internal rapuh dan sarat potensi konflik.

Pasca Perang Dunia II, gelombang dekolonisasi melanda Timur Tengah. Banyak negara memperoleh kemerdekaan, membangun institusi nasional, dan mencoba menciptakan identitas kebangsaan. Namun, fondasi negara-negara ini sering kali dibangun di atas mosaik komunitas yang belum sepenuhnya terintegrasi.

Dalam beberapa kasus, justru terjadi upaya penyatuan. Yaman menjadi contoh penting, ketika puluhan kesultanan dan entitas kecil di wilayah Aden, Arabia Selatan, dan Hadramaut digabungkan dalam Federasi Arab Selatan, lalu berkembang menjadi Yaman Selatan sebelum akhirnya bersatu dengan Yaman Utara pada 1990.

Penyatuan tersebut pada awalnya dipandang sebagai solusi atas fragmentasi, tetapi dalam praktiknya menghadirkan tantangan baru. Identitas lokal, sejarah politik yang berbeda, dan distribusi kekuasaan yang tidak merata menjadikan persatuan itu rapuh, hingga akhirnya Yaman kembali terfragmentasi secara de facto.

Memasuki era pasca-Perang Dingin, muncul gagasan baru tentang penataan ulang Timur Tengah. Salah satu yang sering dibahas adalah memo “Clean Break” pada akhir 1990-an, yang mendorong restrukturisasi geopolitik kawasan demi kepentingan strategis global tertentu.

Sejak saat itu, konsep negara kesatuan mulai bersaing dengan realitas di lapangan yang menunjukkan lahirnya entitas-entitas semi-negara. Di Irak, Kurdistan berkembang sebagai wilayah otonom dengan pemerintahan, militer, dan hubungan luar negeri sendiri, meski tetap berada dalam kerangka negara Irak.

Fenomena serupa menguat pasca Arab Spring. Revolusi dan perang saudara mengguncang negara-negara yang sebelumnya tampak stabil. Suriah menjadi contoh paling jelas, berubah dari negara terpusat menjadi wilayah dengan beragam aktor bersenjata dan struktur kekuasaan paralel.

Di Suriah saat ini, selain pemerintah pusat, terdapat Pasukan Demokratik Suriah di timur laut, kelompok bersenjata Druze di selatan, serta berbagai faksi lokal yang memiliki loyalitas dan agenda berbeda. Negara Suriah secara hukum tetap satu, tetapi secara praktik menjadi “multi negara”.

Kondisi ini tercermin dalam situasi keamanan di Suwayda. Bentrokan terbaru antara pasukan keamanan Suriah dan kelompok bersenjata Druze menunjukkan betapa rapuhnya gencatan senjata yang telah disepakati sejak Juli lalu, setelah konflik berdarah antara kelompok Druze dan suku Badui.

Serangan mortir dan drone terhadap posisi keamanan, serta upaya penyerbuan desa-desa di wilayah barat Suwayda, menegaskan bahwa kekuasaan negara belum sepenuhnya pulih. Bentrokan tersebut juga menyeret warga sipil, memperdalam jurang ketidakpercayaan antara pusat dan komunitas lokal.

Di saat yang sama, pelanggaran kedaulatan oleh aktor eksternal, seperti operasi militer Israel di Quneitra, semakin menegaskan lemahnya kontrol negara atas wilayahnya sendiri. Suriah menghadapi tekanan ganda, dari fragmentasi internal dan intervensi eksternal.

Dalam konteks ini, kebutuhan akan kepemimpinan yang mengayomi menjadi krusial. Bukan kepemimpinan yang memaksakan keseragaman dengan kekerasan, melainkan yang mampu mengelola keberagaman dan realitas multi-aktor secara strategis dan bertahap.

Pendekatan Tiongkok terhadap wilayah seperti Hong Kong, Makau, Tibet, dan Taiwan sering dijadikan rujukan. Beijing memandang perbedaan sistem dan tingkat otonomi bukan semata ancaman, melainkan realitas yang dapat dikelola dalam kerangka jangka panjang.

Model tersebut menunjukkan bahwa negara dapat tetap utuh secara strategis, meski di dalamnya terdapat wilayah dengan karakter politik, ekonomi, dan keamanan yang berbeda. Kuncinya terletak pada kesabaran, insentif ekonomi, dan narasi persatuan yang inklusif.

Yaman, Sudan, dan Somalia juga dapat dilihat dari sudut pandang serupa. Ketiganya sering disebut negara gagal atau terfragmentasi, namun fragmentasi itu juga dapat dipahami sebagai tahap transisi menuju tatanan baru yang lebih realistis dengan kondisi sosial setempat.

Jika fragmentasi diperlakukan semata sebagai ancaman, maka hasilnya adalah perang tanpa akhir. Namun jika dipandang sebagai peluang untuk merancang ulang kontrak politik antara pusat dan daerah, maka potensi stabilisasi jangka panjang tetap terbuka.

Timur Tengah kini berada di persimpangan sejarah. Dari reruntuhan imperium, menuju negara-bangsa, dan kini ke era “negara berlapis”. Masa depan kawasan ini sangat ditentukan oleh hadir atau tidaknya pemimpin yang mampu mengayomi, bukan hanya memerintah, dalam realitas yang semakin majemuk.

Share on Google Plus

About Admin

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment