Equity Crowdfunding, Kini UKM Bisa Galang Dana ke Publik Tanpa Melalui Bursa Efek Indonesia

ilustrasi
PENANGInLOVE -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam waktu dekat akan mengatur layanan urun dana pembelian saham (equity crowd funding) melalui penyelenggara (platform) digital bagi usaha kecil dan menengah (UKM). Aturan baru ini memungkinkan UKM mendapatkan pendanaan dengan menjual saham kepada publik tanpa melalui Bursa Efek Indonesia (BEI).

"Akan dibahas saat Rapat Dewan Komisioner bulan ini. Sekitar 15 hari atau sebulan (setelah RDK) akan diundangkan Kementerian Hukum dan HAM," kata Direktur Pengaturan Pasar Modal OJK Luthfy Zain Fuad, dalam acara Media Gathering di Bogor, Sabtu (20/10).

Dengan adanya skema pencarian dana baru ini, penerbit diharapkan bisa mendapatkan dana dari publik dengan menjual sahamnya. Luthfy menjelaskan, akan ada pihak yang akan memasarkan saham perusahaan tersebut yang disebut sebagai penyelenggara.

Perusahaan yang ingin menjadi penyelenggara, harus Perseroan Terbatas (PT) atau koperasi. Penyelenggara wajib mengajukan perizinan ke OJK dan memiliki permodalan di atas Rp 2,5 miliar. Selain itu, penyelenggara harus memiliki keahlian di bidang Informasi Teknologi (IT).

Fungsi Penyelenggara, tidak hanya memasarkan saham. Mereka juga wajib untuk meninjau terlebih dahulu kondisi penerbit, misalnya dari sisi laporan keuangannya. Dengan demikian, penyelenggara juga harus memiliki sumber daya manusia (SDM) yang ahli untuk melakukan peninjauan yang dimaksud.

Luthfy mengatakan, laporan keuangan penerbit minimal disusun berdasarkan Standar Akutansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK-ETAP) non audited. Dengan begitu, persyaratan bagi penerbit lebih ringan dibangingkan jika penerbit mencari pendanaan melalui perbankan. Selain itu, biaya untuk memperoleh pendanaan ini juga menjadi lebih efisien.

Secara umum, skema equity crowdfunding akan membantu pertumbuhan ekonomi melalui aliran dana kepada penerbit dan pengguna lain dalam ekonomi riil. "Selain itu, (skema ini) dapat mengisi bagian yang tidak dapat ter-cover oleh perbankan," ujarnya.

Bagi penerbit yang akan melepas sahamnya, OJK memberikan beberapa syarat. Penerbit tersebut harus berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT). Lalu mereka harus memiliki kekayaan di bawah Rp 10 miliar, di luar tanah dan bangunan.

OJK melarang penerbit yang dikendalikan oleh suatu kelompok usaha (konglomerasi), baik langsung maupun tidak langsung, untuk menggunakan skema urun dana ini. Selain itu, penerbit dengan status perusahaan Terbuka (Tbk) ataupun anak usaha perusahaan Tbk, dilarang menjual sahamnya lewat instrumen ini.

Melalui skema pendanaan ini, investor yang membeli saham akan sama seperti instrumen di pasar modal. Mereka akan menerima jatah dividen saat perusahaan mendapatkan laba dan memiliki hak dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) perusahaan.

OJK mengatur, bagi investor yang memiliki penghasilan Rp 500 juta ke bawah per tahun, hanya bisa melakukan investasi maksimal 5% dari penghasilannya. Sementara, bagi investor yang memiliki penghasilan di atas Rp 500 juta, maksimal investasinya sebesar 10% dari penghasilan. "Setiap pihak dapat menjadi pemodal di equity crowdfunding ini, dengan ketentuan tersebut," kata Luthfy.

Meski begitu, OJK memberikan pengecualian kepada investor yang merupakan badan hukum untuk menyuntikan modal tanpa nilai maksimal. Pengecualian juga diberikan untuk investor yang memiliki pengalaman investasi di Pasar Modal minimal 2 tahun dengan dibuktikan dengan kepemilikan rekening efek.

Luthfy pun mengungkapkan, meski memiliki beberapa keuntungan, namun instrumen ini memiliki beberapa risiko yang perlu diwaspadai. Contohnya, risiko investor tidak mendapatkan dividen jika perusahaan tidak untung.

Lalu, ada risiko saham perusahaan tidak likuid, bahkan risikonya lebih tinggi daripada perdagangan di pasar modal karena tidak memiliki pasar yang tersedia. Dengan begitu, dapat timbul juga risiko capital loss. "Tidak ada kewajiban bagi penyelenggara untuk membuat sarana perdagangan sekundernya. Tapi dalam aturannya, kami memberikan kesempatan bagi penyelenggara untuk menyediakan sarana perdagangan sekundernya," kata Luthfy.

Selain itu, juga ada risiko dilusi kepemilikan saham karena penerbit bisa saja menawarkan saham seperti skema rights issue kepada publik lainnya, tanpa menawarkan kepada pemegang saham yang sudah ada.

Risiko lainnya adalah kegagalan operasional dari penyelenggara meskipun mereka harus memiliki sistem yang aman dan andal menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. "Tapi kita menyadari, UU ITE kerangkanya belum sempurna," katanya.

Selain itu, ada risiko informasi asimetris dan kualitas informasi yang diberikan oleh penerbit kepada publik. Seperti karena laporan keuangan yang berbasis SAK-ETAP non audited.

Meski banyaknya risiko yang dihadapi oleh investor, namun Luthfy mengatakan, investor di instrumen ini memang sedikit unik. Berkaca pada skema pendanaan yang sama di luar negeri, biasanya investor equity crowdfunding memang yang memiliki ketertarikan dengan perusahaan rintisan seperti UKM.

"Di luar negeri, mereka mengenal sebutan angel investor. Mereka burn money dulu," kata Luthfy. Setelah perusahaan tersebut tumbuh semakin besar, investor akan mendorong perusahaan untuk go public. Manfaat penuhnya ketika modal perusahaan semakin besar dan akhirnya menjadi perusahaan publik.

Alur Pengaplikasian Equity Crowdfunding

Ada beberapa tahapan dalam equity crowdfunding. Pertama, penerbit harus menyampaikan kelengkapan dokumen kepada penyelenggara. Setelah penyelenggara meninjau dokumen yang disampaikan perusahaan, penyelenggara akan menampilkan penawaran saham pada situs penyelenggara.

"Dokumen yang diserahkan seperti akta pendirian, jumlah penawaran saham, tujuan penggunaan, rencana bisnis perusahaan, kebijakan dividen," kata Luthfy.

Dengan ditampilkannya penawaran saham, investor dapat mendaftarkan diri sebagai pemodal dan membeli saham melalui penyelenggara. Investor akan melakukan pembayaran kepada rekening penampung (escrow account) yang disiapkan penyelenggara. Perusahaan pun menyerahkan sahamnya kepada penyelenggara untuk didistribusikan kepada investor.

Penghimpunan dana dari investor ini memiliki beberapa ketentuan yang akan diatur oleh OJK. Nilai penawaran saham oleh satu UKM hanya Rp 10 miliar dengan jangka waktu penawaran selama 12 bulan. Namun, penerbit saham boleh memecah nilai Rp 10 miliar dalam beberapa kali penawaran.

Adapun, masa penawaran pada tiap penawaran adalah selama 60 hari dan hanya dapat menawarkan saham melalui satu penyelenggara dalam waktu yang bersamaan. Penawaran saham akan batal jika minimal dana yang ditargetkan perusahaan tidak terpenuhi selama 60 hari tersebut.

Luthfy mengatakan, alasan dibatalkannya penawaran karena dana tidak memenuhi target, agar menghindari dana dari investor tidak digunakan untuk hal lainnya. Kemungkinan itu ada karena dapat membuat tujuan perusahaan mencari modal yang tertuang dalam rencana bisnis, tidak dapat dieksekusi.

"Kalau tidak sesuai target dari perusahaan, uangnya dikembalikan kepada pemodal lagi," ujar Luthfy menjelaskan. Perusahaan sebagai penerbit saham, diwajibkan oleh OJK untuk menyampaikan laporan tahunan ke OJK dan mengumumkan kepada masyarakat melalui penyelenggara. (sumber)
Share on Google Plus

About Admin2

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment