Kerajaan Aru, dari Bayang-bayang Majapahit ke Ancaman Portugis

Di tepian pantai timur Sumatra, di antara gelombang yang membawa kisah peradaban besar, berdiri sebuah dinasti yang gagah berani melawan gelombang sejarah. Kerajaan Aru dari Dinasti Aru Barumun, keturunan langsung dari Samudera Pasai, adalah bukti bahwa darah perjuangan tidak pernah padam.

Dari satu generasi ke generasi berikutnya, para sultan dari dinasti ini berdiri tegak mempertahankan tanah air mereka dari kekuatan imperialis, baik dari Jawa, Malaka, hingga Portugis.

Sejarah Dinasti Aru Barumun dimulai dari Sultan Malik Al Mansyur, putra dari Sultan Malik al-Saleh, yang memerintah dari tahun 1299 hingga 1322. Sebagai keturunan dari Samudera Pasai, ia membawa kejayaan Islam ke tanah Sumatra Utara sekarang dan memperkuat jalur perdagangan yang menghubungkan negeri-negeri Islam di Nusantara.

Kepemimpinannya diteruskan oleh Sultan Hassan Al Gafur yang memerintah selama 14 tahun, melanjutkan ekspansi dan memperkuat hubungan dengan kerajaan-kerajaan maritim lainnya.

Namun, di era Sultan Firman Al Karim (1336-1361), ancaman besar datang dari selatan. Majapahit, kerajaan Hindu terbesar di Jawa, berusaha memperluas pengaruhnya ke Sumatra. 

Armada laut Majapahit berulang kali mencoba menaklukkan wilayah Aru Barumun, tetapi selalu mendapat perlawanan sengit. Dengan pasukan marinir yang dipimpin oleh Laksamana Hang Tuah dan Hang Lekir, Dinasti Aru Barumun menjadi benteng pertahanan terakhir dari pengaruh Hindu Majapahit. Laut menjadi saksi pertempuran dahsyat antara kedua kekuatan besar itu.

Sultan Firman Al Karim tidak pernah mundur. Ia tahu bahwa kejatuhan Aru Barumun berarti kehancuran Islam di wilayahnya. Setiap serangan dari Majapahit dibalas dengan taktik perang laut yang cerdas. Di perairan sempit dekat Selat Malaka, kapal-kapal Aru Barumun menyerang dengan lincah, menenggelamkan banyak kapal musuh.

Namun, peperangan yang panjang membawa kelelahan dan kejatuhan. Sultan Sadik Al Quds yang menggantikannya pada tahun 1361, wafat akibat serangan jantung setelah melihat negerinya terus-menerus dalam bayang-bayang perang. Belakangan, dalam catatan Jawa, Kerajaan Aru disebut tunduk dan menjadi bagian dari pengaruh Majapahit.

Era berikutnya, di bawah Sultan Alwi Al Musawwir dan Sultan Ridwan Al Hafidz, Aru Barumun lebih banyak membangun hubungan diplomatik. Kesultanan ini menjalin persekutuan dengan Dinasti Ming di Cina, melihat bahwa ancaman dari selatan harus diimbangi dengan kekuatan baru. 

Hubungan ini semakin erat ketika Sultan Hussin Dzul Arsa, yang bergelar Sultan Haji, ikut dalam rombongan Laksamana Cheng Ho menuju Mekkah dan Peking pada tahun 1409. Dalam catatan Dinasti Ming, namanya dikenang sebagai Adji Alasa, seorang pemimpin dari tanah Batak yang dihormati.

Namun, ancaman tidak pernah benar-benar sirna. Sultan Djafar Al Baki (1428-1459) gugur dalam pertarungan dengan seekor harimau, sebuah pertanda bahwa kekacauan mengintai dari segala arah. Sultan Hamid Al Muktadir yang menggantikannya hanya bertahan tiga tahun sebelum gugur akibat pandemi. Nasib buruk semakin menghantui Dinasti Aru Barumun ketika pada tahun 1469, Kesultanan Malaka menyerang atas perintah Sultan Mansyur Syah. Kota pelabuhan Labuhanbilik dibumihanguskan, dan angkatan laut Aru Barumun dihancurkan.

Sultan Zulkifli Al Majid, yang lahir dengan kebutaan dan pendengaran lemah, tidak mampu mempertahankan kesultanan. Wilayahnya jatuh ke tangan Malaka, memaksa penerusnya untuk berjuang di pengasingan. Namun, harapan masih ada.

Sultan Karim Al Mukji dan Sultan Muhammad Al Wahid berusaha mengembalikan kejayaan, tetapi ancaman baru datang dari barat. Kali ini, bukan sesama kerajaan Melayu yang menyerang, melainkan penjajah dari dunia yang lebih jauh: Portugis.

Sultan Muhammad Al Wahid gugur dalam pertempuran melawan bajak laut Portugis. Ini adalah pukulan berat bagi Aru Barumun. Penggantinya, Sultan Ibrahim Al Jalil, ditawan dan diperalat oleh Portugis, menandai kejatuhan resmi dinasti ini di Sumatra Timur. Namun, sejarah tidak berakhir di sana.

Sultan Ibrahim Al Jalil dan keturunannya berhasil melarikan diri ke Sulawesi, berlindung di Wajo, tempat di mana mereka diterima oleh penguasa Bugis. Selama beberapa generasi, mereka hidup dalam pengasingan, tetapi semangat untuk kembali ke tanah asal tidak pernah padam. Hingga akhirnya, dalam suatu peristiwa sejarah yang jarang dicatat, menurut sebuah riwayat dan perlu didalami lebih lanjut, keturunannya kembali ke Aceh dan kemungkinan itulah yang dikenal sebagai Teuku Chik di Reubee alias Daeng Mansur.

Terlepas dari Al Jalil adalah orang yang bergelar Daeng Mansur atau tidak, Teuku Chik di Reubee memang tidak hanya menjadi tokoh penting di Aceh, tetapi juga mertua dari Sultan Iskandar Muda. Dari garis keturunan inilah, lahir Dinasti Bugis di Aceh, yang kelak berperan dalam pertahanan dan perlawanan terhadap Belanda. Sejarah berulang, dan darah Samudera Pasai kembali diuji dalam pertempuran.

Namun, zaman modern membawa akhir yang pahit. Dinasti Bugis di Aceh, yang merupakan warisan terakhir dari Samudera Pasai dan Aru Barumun, akhirnya dihancurkan oleh invasi Belanda di abad ke-20 ke Kesultanan Aceh. Senjata dan strategi perang modern mengakhiri perjuangan panjang yang telah berlangsung selama ratusan tahun.

Hari ini, nama Dinasti Aru Barumun mungkin hanya tercatat dalam buku sejarah yang jarang dibuka. Namun, semangat perjuangan mereka tetap hidup. Setiap gelombang yang menghantam pesisir Sumatra Timur adalah pengingat akan pertempuran yang pernah terjadi di sana.

Dari laut ke darat, dari Sumatra ke Sulawesi, dan kembali ke Aceh, Dinasti Aru Barumun adalah bukti bahwa darah pejuang tidak pernah pudar. Mereka mungkin telah kalah dalam pertempuran, tetapi mereka tidak pernah kalah dalam sejarah. Selama masih ada mereka yang mengenang, selama masih ada kisah yang diceritakan, Aru Barumun akan tetap hidup sebagai simbol keberanian dan keteguhan dalam mempertahankan tanah air.

Dibuat oleh AI
Share on Google Plus

About Admin2

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment