Isu separatisme di Yaman terus muncul ke permukaan meski secara ekonomi dan institusional sulit diwujudkan sebagai proyek negara yang layak. Yaman Selatan tidak memiliki fondasi kemakmuran seperti Hong Kong, Taiwan, atau Makau yang membuat pemisahan diri menjadi rasional dan berkelanjutan. Namun wacana ini tetap hidup, bukan karena kelayakannya, melainkan karena manfaat politik yang dikandungnya.
Dalam realitas Yaman yang terfragmentasi, separatisme berfungsi sebagai alat tawar kekuasaan bagi elite lokal. Ancaman pemisahan diri memberi posisi negosiasi yang lebih kuat terhadap pemerintah pusat maupun aktor regional yang berkepentingan. Di tengah negara yang lemah, narasi identitas wilayah menjadi senjata efektif untuk menguasai sumber daya dan legitimasi.
Fenomena ini sejatinya tidak unik. Di berbagai negara stabil, isu separatisme juga hadir tanpa mengguncang fondasi negara. Texas di Amerika Serikat, Katalonia di Spanyol, hingga Kaledonia Baru di Pasifik menunjukkan bahwa wacana pemisahan dapat hidup berdampingan dengan negara yang berfungsi, dikelola sebagai dinamika politik biasa, bukan ancaman eksistensial.
Bahkan terdapat contoh sebaliknya, di mana suatu wilayah justru memilih tetap berada dalam negara induk. Mayotte, misalnya, secara tegas memilih menjadi bagian dari Prancis demi stabilitas, layanan publik, dan kesejahteraan. Kasus ini menegaskan bahwa identitas politik sering kali kalah oleh rasionalitas ekonomi dan institusi yang kuat.
Masalah Yaman terletak pada rapuhnya negara. Ketika institusi runtuh, separatisme tidak lagi menjadi wacana, melainkan instrumen konflik. Inilah sebabnya isu pemisahan diri terus didengungkan—bukan sebagai solusi masa depan, tetapi sebagai alat yang menguntungkan dalam permainan kekuasaan hari ini.
Poin penting
Isu separatisme di Yaman terus didengungkan bukan karena ia realistis secara ekonomi, melainkan karena ia berguna secara politik. Dalam konteks Yaman, separatisme adalah alat, bukan tujuan akhir. Ia dipelihara karena memberi daya tawar, legitimasi, dan sumber daya bagi para aktor yang mengusungnya, meski secara objektif Yaman Selatan tidak memiliki prasyarat seperti Hong Kong, Taiwan, atau Makau untuk berdiri sendiri sebagai negara makmur.
Pertama, separatisme berfungsi sebagai alat tawar kekuasaan. Dengan mengancam pemisahan, elite Yaman Selatan—terutama STC—dapat menekan pemerintah pusat dan sponsor regional untuk memperoleh otonomi de facto, kontrol atas pelabuhan, anggaran, dan keamanan lokal. Dalam banyak kasus, tujuan akhirnya bukan kemerdekaan penuh, melainkan penguasaan wilayah tanpa pengawasan Sana’a atau institusi pusat.
Kedua, isu separatisme efektif memobilisasi massa di negara gagal. Di Yaman, narasi ketidakadilan historis pasca-unifikasi 1990, kekalahan 1994, dan marginalisasi ekonomi mudah diubah menjadi sentimen identitas. Ini penting bagi elite lokal untuk membangun legitimasi di tengah absennya negara yang berfungsi. Separatisme menjadi bahasa paling sederhana untuk menjelaskan krisis yang kompleks.
Ketiga, secara ekonomi, Yaman Selatan memang tidak feasible sebagai negara mandiri stabil. Tidak ada basis industri, keuangan, atau perdagangan global seperti Hong Kong atau Taiwan. Infrastruktur rusak, SDM terbatas, dan ketergantungan pada bantuan asing sangat tinggi. Karena itu, separatisme di Yaman lebih menyerupai proyek politik elite, bukan aspirasi ekonomi rasional.
Keempat, fenomena ini bukan hal unik Yaman. Isu separatisme juga hadir di negara-negara mapan. Di Texas, wacana “Texit” sesekali muncul, tetapi dipandang sebagai ekspresi politik pinggiran, bukan ancaman serius terhadap Amerika Serikat. Negara federal yang kuat membuat isu ini menjadi bagian dari kebisingan demokrasi.
Hal serupa terjadi di Katalonia, Spanyol. Gerakan separatis cukup besar dan berakar sejarah, namun negara Spanyol tetap utuh. Separatisme diperlakukan sebagai masalah politik dan hukum, bukan eksistensial. Ekonomi Spanyol tetap berjalan, dan Katalonia tetap terikat pada realitas pasar nasional dan Uni Eropa.
Di Kaledonia Baru, isu kemerdekaan dari Prancis berulang kali diuji lewat referendum. Hasilnya konsisten menunjukkan masyarakat terbelah, dan Paris mengelolanya sebagai proses politik normal, bukan ancaman keamanan akut. Separatisme di sini dilembagakan, bukan dimiliterisasi.
Menariknya, ada pula wilayah yang justru menolak kemerdekaan. Mayotte, wilayah kepulauan di Samudra Hindia, secara aktif memilih tetap menjadi bagian dari Prancis. Alasan utamanya sederhana: stabilitas, layanan publik, dan standar hidup. Identitas politik kalah oleh rasionalitas ekonomi dan institusi.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa separatisme tidak otomatis rasional atau irasional. Ia menjadi berbahaya ketika muncul di negara rapuh seperti Yaman, di mana tidak ada institusi kuat untuk menyalurkannya secara damai. Dalam kondisi ini, separatisme berubah dari wacana politik menjadi alat konflik.
Karena itu, isu separatisme di Yaman terus digaungkan bukan karena ia solusi, tetapi karena ia berguna: untuk menekan lawan, menarik dukungan asing, menguasai sumber daya lokal, dan mempertahankan status quo elite perang. Dalam banyak hal, separatisme di Yaman adalah gejala dari negara gagal, bukan jawaban atasnya.
Singkatnya, jika Yaman adalah negara normal, separatisme akan menjadi isu biasa seperti Texas atau Katalonia. Namun karena negara runtuh, isu itu dibesar-besarkan hingga tampak eksistensial. Dan selama konflik memberi keuntungan, wacana pemisahan akan terus dipelihara—meski semua pihak tahu, negara baru pun belum tentu mampu bertahan.
0 comments:
Post a Comment